Penggunaan kartu pintar atau smart card sebagai alat pembayaran elektronik diperkirakan akan semakin menembus pasar pembayaran mikro di Indonesia.
Dengan demikian, bisnis kartu cerdas ini akan semakin menjanjikan karena pangsa pasar pembayaran mikro di Indonesia sudah berada di kisaran Rp 200 triliun-Rp 293 triliun.
Ketua Asosiasi Pusat Perbelanjaan Indonesia Handaka Santosa mengungkapkan hal tersebut pada diskusi "Sinergi Perbankan dan Operator"di Jakarta, Kamis (23/6/2011).
Menurut Handaka, dari pangsa pasar pembayaran mikro yang diperebutkan itu, 77 persen transaksi ritelnya masih dilakukan secara tunai. Hal itu antara lain karena transaksi e-payment (pembayaran elektronik) di Indonesia masih menghadapi tantangan serius, yakni kultur masyarakat Indonesia yang belum terbiasa dengan berbelanja via katalog. "Selain itu, masyarakat masih terbiasa sistem tawar-menawar," ujarnya.
Namun, Analis Madya Senior Direktorat Accounting dan Sistem Pembayaran Bank Indonesia (BI), Ida, mengatakan, dalam waktu dekat akan ada migrasi kartu ATM dan debet dari magnetic stripe menjadi chip. BI mengaku akan mengenakan kebijakan yang sama untuk produk e-money (alat pembayaran berupa kartu yang setara dengan jumlah uang tertentu). Perkembangannya yang pesat membuat BI merasa harus mengantisipasi sisi keamanan dan efisisensinya.
"Kebijakan ke depannya, produk baru e-money pun akan didorong ke situ (kartu dengan chip). Mumpung baru sebelas penerbit, kami mesti cepat. Kalau sudah banyak, bisa makin sulit," ujarnya.
Ida menuturkan, sejak teknologi chip dalam kartu kredit diaplikasikan, pelanggaran (fraud) dalam penggunaan kartu kredit semakin berkurang. Kejahatan dalam kartu kredit, kalaupun ada, saat ini kembali ke modus yang konvensional, seperti menjebol lewat internet atau melakukan duplikasi.
"Pada e-money, kami wajibkan penerbit untuk lapor kalau ada fraud, sejauh ini sih belum ada," ujarnya.
More about → Kartu Pintar Tembus Pasar Mikro
Dengan demikian, bisnis kartu cerdas ini akan semakin menjanjikan karena pangsa pasar pembayaran mikro di Indonesia sudah berada di kisaran Rp 200 triliun-Rp 293 triliun.
Ketua Asosiasi Pusat Perbelanjaan Indonesia Handaka Santosa mengungkapkan hal tersebut pada diskusi "Sinergi Perbankan dan Operator"di Jakarta, Kamis (23/6/2011).
Menurut Handaka, dari pangsa pasar pembayaran mikro yang diperebutkan itu, 77 persen transaksi ritelnya masih dilakukan secara tunai. Hal itu antara lain karena transaksi e-payment (pembayaran elektronik) di Indonesia masih menghadapi tantangan serius, yakni kultur masyarakat Indonesia yang belum terbiasa dengan berbelanja via katalog. "Selain itu, masyarakat masih terbiasa sistem tawar-menawar," ujarnya.
Namun, Analis Madya Senior Direktorat Accounting dan Sistem Pembayaran Bank Indonesia (BI), Ida, mengatakan, dalam waktu dekat akan ada migrasi kartu ATM dan debet dari magnetic stripe menjadi chip. BI mengaku akan mengenakan kebijakan yang sama untuk produk e-money (alat pembayaran berupa kartu yang setara dengan jumlah uang tertentu). Perkembangannya yang pesat membuat BI merasa harus mengantisipasi sisi keamanan dan efisisensinya.
"Kebijakan ke depannya, produk baru e-money pun akan didorong ke situ (kartu dengan chip). Mumpung baru sebelas penerbit, kami mesti cepat. Kalau sudah banyak, bisa makin sulit," ujarnya.
Ida menuturkan, sejak teknologi chip dalam kartu kredit diaplikasikan, pelanggaran (fraud) dalam penggunaan kartu kredit semakin berkurang. Kejahatan dalam kartu kredit, kalaupun ada, saat ini kembali ke modus yang konvensional, seperti menjebol lewat internet atau melakukan duplikasi.
"Pada e-money, kami wajibkan penerbit untuk lapor kalau ada fraud, sejauh ini sih belum ada," ujarnya.